Indonesia Disiplin Kelola Defisit dan Utang Meski Dalam Masa Pandemi

By Abdi Satria


nusakini.com-Jakarta-Dalam mengantisipasi dampak COVID-19, APBN dirancang untuk fleksibel karena dibutuhkan tambahan anggaran di bidang kesehatan, perlindungan sosial dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk membuat dunia usaha tidak berhenti beroperasi. Namun demikian, Indonesia adalah negara yang sangat disiplin mengenai defisit untuk mengelola utangnya dengan baik.  

“Indonesia dikenal di seluruh dunia sebagai negara yang sangat disiplin untuk membuat defisit fiskal 3 persen. Artinya kita tidak mau berutang terlalu banyak, bahkan pada masa yang sulit. Sekarang menghadapi COVID-19, kebutuhan kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan dunia usaha meningkat. Oleh karena itu, pada istilahnya, kita minta izin kepada masyarakat adanya peningkatan defisit menjadi 6 persen. Karena kegiatan ekonomi sedang turun,” Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menjelaskan dalam diskusi IG live berjudul "Menjaga Pemulihan Ekonomi: Kini dan Nanti" pada Kamis, (18/06) di Jakarta bersama Staf Khusus Menteri Keuangan Masyita Crystallin.  

Masyita menambahkan bahwa kebijakan yang fleksibel, salah satunya melalui APBN, dibutuhkan dalam menghadapi situasi yang tidak biasa.  

Dalam diskusi tersebut, Suahasil dan Masyita juga memberikan penjelasan tentang manajemen utang pemerintah di masa pandemi.  

Menurut Wamenkeu, yang paling penting adalah apakah kebijakan utang itu justifiable (bisa dibenarkan, punya dasar yang jelas).  

“Utangnya dipakai untuk apa? Kalau untuk foya-foya, maka tidak justifiable. Tapi kalau untuk meng-upgrade RS supaya siap menangani COVID-19, untuk beli ventilator, untuk memberikan perlindungan sosial, ini justified. Kita meminjam dari masa depan untuk kesehatan masyarakat dan menyelamatkan bangsa,” ujar Wamenkeu.  

Masyita menjelaskan bahwa utang dapat dilihat sebagai intergenerational policy.  

“Ibaratnya kita sedang meminjam kepada masa depan. Benefit (manfaat) dari utang saat ini dapat lebih tinggi dan tujuan utang. Tidak hanya yang bisa dihitung dalam nominal return karena kesehatan masyarakat dan menyelamatkan nyawa masyarakat itu tidak bisa dihitung hanya dengan nominal return,” kata Masyita.  

Suahasil menjelaskan bahwa generasi sekarang juga sebetulnya masih membayar utang dari krisis di masa lalu, yang masih tercatat di neraca Bank Indonesia. Namun yang berbeda dari kondisi 1998 adalah pengelolaan utang sudah jauh lebih baik. Ini yang harus dipertanggungjawabkan.(p/ab)